Sonia, gadis berusia 17 tahun yang hidup serba
berkecukupan. Dia merupakan putri tunggal dari seorang pengusaha sukses.
Ayahnya adalah pemilik Angin-angin Group, sebuah perusahaan besar yang bergerak
dalam bidang kontraktor dan memiliki berbagai cabang di berbagai kota besar di
Indonesia. Sonia tinggal di sebuah perumahan elite ditemani kedua pembantu dan
seorang satpam. Kesibukan Ayahnya membuat Sonia kesepian. Ibunya sudah lebih
dari lima tahun yang lalu meninggal. Gadis yang terkenal pendiam ini tidak pernah
tahu bagaimana hidup yang prihatin seperti orang yang berada dibawahnya. Bahkan,
tak banyak waktu untuk Sonia bisa bersama Ayahnya. Ia sering ditinggal untuk
urusan kerja di luar kota, Ia tak pernah tahu bagaimana rasanya dikecup
keningnya,
Saat ayahnya sedang di rumah, Sonia selalu menyempatkan
diri untuk berbagi cerita. Digenggamlah tangan Ayahnya ketika mereka sedang
terlihat menikmati keremangan cahaya bulan yang bersembunyi di balik rindangnya
pohon cemara. Digenggam tangan itu dengan hangat.
Ayahnya tersenyum dan
bertanya, “sudahkah kamu makan, Nak?”.
Pertanyaan sesederhana
ini membuat Sonia menyimpan sebuah harapan. Harapan kalau Ayahnya akan
mengajaknya makan malam diluar. Karena bagi Sonia makan bersama ayahnya
merupakan hal yang cukup langka dalam hidupnya. Namun, ternyata harapan itu
seketika pupus ketika sebuah kalimat terlontar, “Ya sudah makan dulu sana nanti
kamu sakit !.”
Tanpa tahu bahwa jawaban itu membuat hati Sonia sakit. Ia
sedih. Tanpa mengiyakan perintah ayahnya, ia pun langsung masuk dan
meninggalkan ayahnya. Sonia menangis di kamar. Sambil memeluk guling, ia pun
menangis tersedu. Bertanya pada sebuah boneka yang ia anggap boneka itulah
teman setianya di rumah. Apakah dirinya tak pernah penting dimata ayahnya.
Apakah ayahnya tak pernah menyimpan sayang untuk seorang anak gadis tunggalnya
itu? Kenapa ia tak pernah membagi
waktunya untuk anaknya?. Sonia kesal sekali. Ia berniat ingin kabur dari rumah
tetapi, ia ingat bahwa malam itu adalah malam Jumat. Sonia takut.
Akhirnya, ia memutuskan tak jadi pergi dan berusaha
menghibur dirinya sendiri dengan menonton film lucu sambil makan coklat. Satu
per satu coklat pun habis dimakannya. Hamper lima bungkus coklat ia habiskan
dalam sekejap. Berharap ia akan sakit gigi supaya ayahnya lebih peduli. Namun,
naas sekali Sonia malam itu. Bukannya sakit gigi yang ia dapatkan tetapi malah
sakit perut. Ia terkapar kesakitan. Mulutnya mengeluarkan darah. Sonia
keracunan. Ia menangis, tak mampu untuk berteriak. Film yang ia setel begitu
kencang dari kamar atas sehingga orang rumah akan menyangka dirinya baik-baik
saja. Sungguh tak disangka, Sonia memakan coklat yang telah kadaluarsa. Ia
hanya mampu memandang bungkus coklat dan seketika matanya telah gelap terpejam.