Selasa, 15 Oktober 2013

Utamakan Paru-paru Kota

Kota Seribu Angkot

Keadaan udara kota yang buruk membuat penduduk kota mengalami berbagai keluhan penyakit dan itu sudah menjadi hal yang harus segera ditangani secara serius oleh Pemkot Bogor. Begitu pula dengan kemacetan yang terjadi dimana-mana. Selama ini Wali Kota hanya berkata omong kosong.
Jalan yang begitu penting untuk roda ekonomi dan segala macam mobilitas yang tinggi seharusnya menjadi perhatian dan tertata dengan baik. Tapi yang terjadi adalah berubahnya kota hujan ini menjadi kota seribu angkot. Tentunya ini menjadi hal yang seharusnya dilirik oleh Walikota Bogor yang baru terpilih. Apakah dengan kepemimpinan baru ini, Bima Arya, Walikota Bogor periode 2013-2018 mampu mengentaskan kemacetan yang sudah mengendap di Bogor ini.
Kejadian kejadian yang tak pernah kita duga seharusnya menjadi evaluasi agar perbaikan yang maksimal segera dilakukan. Kecelakaan yang sering membuat lalu lintas di sekitar lokasi tersebut macet panjang. Kerugian yang tidak hanya menimpa korban tetapi juga orang banyak yang melewati jalur itu.
Hal ini menjadi sebuah cermin yang melemahkan Indonesia di mata dunia. Sebaiknya korupsi ditinggalkan dan mari kita tata Bogor secara manusiawi.

Minggu, 13 Oktober 2013

Arus Modernitas Menindas PKL

Jika saja ada jalan lain yang jauh lebih baik ketimbang harus adu jotos dan melelehkan air mata karena pertikaian yang terjadi antara petugas dan pedagang kaki lima (PKL) karena lahan yang harus ditertibkan. Negeri ini telah lama menjadi bulan-bulanan arus modernitas yang begitu kuat menggempur paksa “orang kecil” yang hanya mampu seadanya berusaha dengan keterbatasan tetap menjamur serta hidup dalam pola mereka sendiri.
Sudah selayaknya-lah pemerintah “menyerah” dan mengabdi kepada rakyat dengan sepenuh hati yang penuh rasa cinta kepada rakyatnya. Karena bagaimanapun mereka adalah salah satu motor penggerak roda ekonomi melalui usaha kecil yang mereka jalani setiap hari eh kok malah digusur dan dibikin makin sulit. Yang saya bayangkan kotak rokok itu adalah asset yang sangat berharga bagi kehidupan mereka yang sedang berjuang bertahan di tengah arus deras pertumbuhan metropolis yang tunggang langgang serba cepat dan panik.
                Jalanan memang sering tertimbun kemacetan karena harus berbagi dengan para PKL. Jalanan ini adalah salah satu area yang dianggap paling strategis karena tempat banyak orang berlalu lalang. Disanalah sering terjadi penyumbatan arus kendaraan karena banyak yang berhenti untuk membeli sesuatu. Tapi, itulah kota Jakarta, sebuah kota yang terus berjalan hingga hari ini tanpa tata ruang kota yang benar-benar matang, terukur dan terencana. Semua serba tumpang tindih dari gagasan-gagasan spontan. (evy)

Jumat, 04 Oktober 2013

Coklat di Malam Jumat

Sonia, gadis berusia 17 tahun yang hidup serba berkecukupan. Dia merupakan putri tunggal dari seorang pengusaha sukses. Ayahnya adalah pemilik Angin-angin Group, sebuah perusahaan besar yang bergerak dalam bidang kontraktor dan memiliki berbagai cabang di berbagai kota besar di Indonesia. Sonia tinggal di sebuah perumahan elite ditemani kedua pembantu dan seorang satpam. Kesibukan Ayahnya membuat Sonia kesepian. Ibunya sudah lebih dari lima tahun yang lalu meninggal. Gadis yang terkenal pendiam ini tidak pernah tahu bagaimana hidup yang prihatin seperti orang yang berada dibawahnya. Bahkan, tak banyak waktu untuk Sonia bisa bersama Ayahnya. Ia sering ditinggal untuk urusan kerja di luar kota, Ia tak pernah tahu bagaimana rasanya dikecup keningnya,

Saat ayahnya sedang di rumah, Sonia selalu menyempatkan diri untuk berbagi cerita. Digenggamlah tangan Ayahnya ketika mereka sedang terlihat menikmati keremangan cahaya bulan yang bersembunyi di balik rindangnya pohon cemara. Digenggam tangan itu dengan hangat.
Ayahnya tersenyum dan bertanya, “sudahkah kamu makan, Nak?”.
Pertanyaan sesederhana ini membuat Sonia menyimpan sebuah harapan. Harapan kalau Ayahnya akan mengajaknya makan malam diluar. Karena bagi Sonia makan bersama ayahnya merupakan hal yang cukup langka dalam hidupnya. Namun, ternyata harapan itu seketika pupus ketika sebuah kalimat terlontar, “Ya sudah makan dulu sana nanti kamu sakit !.”

Tanpa tahu bahwa jawaban itu membuat hati Sonia sakit. Ia sedih. Tanpa mengiyakan perintah ayahnya, ia pun langsung masuk dan meninggalkan ayahnya. Sonia menangis di kamar. Sambil memeluk guling, ia pun menangis tersedu. Bertanya pada sebuah boneka yang ia anggap boneka itulah teman setianya di rumah. Apakah dirinya tak pernah penting dimata ayahnya. Apakah ayahnya tak pernah menyimpan sayang untuk seorang anak gadis tunggalnya itu?  Kenapa ia tak pernah membagi waktunya untuk anaknya?. Sonia kesal sekali. Ia berniat ingin kabur dari rumah tetapi, ia ingat bahwa malam itu adalah malam Jumat. Sonia takut.
Akhirnya, ia memutuskan tak jadi pergi dan berusaha menghibur dirinya sendiri dengan menonton film lucu sambil makan coklat. Satu per satu coklat pun habis dimakannya. Hamper lima bungkus coklat ia habiskan dalam sekejap. Berharap ia akan sakit gigi supaya ayahnya lebih peduli. Namun, naas sekali Sonia malam itu. Bukannya sakit gigi yang ia dapatkan tetapi malah sakit perut. Ia terkapar kesakitan. Mulutnya mengeluarkan darah. Sonia keracunan. Ia menangis, tak mampu untuk berteriak. Film yang ia setel begitu kencang dari kamar atas sehingga orang rumah akan menyangka dirinya baik-baik saja. Sungguh tak disangka, Sonia memakan coklat yang telah kadaluarsa. Ia hanya mampu memandang bungkus coklat dan seketika matanya telah gelap terpejam.