Bagai pungguk merindukan bulan, itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan bagaimana wajah dunia pendidikan di Indonesia.
Pendidikan memiliki tugas menyiapkan sumber daya manusia yang
berkualitas agar kelak bermanfaat membangun bangsa, Pendidikan adalah
ukuran suatu bangsa, apakah bangsa itu maju atau mundur, sebab
pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa. Bagi suatu
bangsa pendidik harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan, sama halnya
dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Seperti sandang, pangan, dan papan,
Namun, sangat memprihatinkan melihat kondisi pendidikan di Indonesia
saat ini. Berbagai masalahpun timbul, mulai dari sarana yang tidak
memadai, biaya pendidikan yang masih cukup mahal akibatnya anak putus
sekolah, pengajar yang kurang profesional dan kurikulum yang gonta-ganti
akibatnya Kualitas pelajar yang masih kurang atau rendah, sampai
kepribadian peserta didik yang jauh dari yang diharapkan, bahkan
Undang-Undang Pendidikan yang perlu penyempurnaan dan perubahan ( tahun
2004 nama Kementerian Pendidikan saja yang mengurus dunia pendidikan,
pada tahun 2012 dirubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ).
termasuk kecilnya alokasi anggaran untuk pendidikan baik di tingkat
nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.
Wajah buruk pendidikan kita, Pertama, paradigma pendidikan
nasional. Kedua, mahalnya biaya pendidikan. Diakui atau tidak sistem
pendidikan yang berlaku saat ini adalah sistem pendidikan yang
memisahkan peranan agama dari kehidupan. Hal ini dapat terlihat antara
lain pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab ke VI tentang jalur jenjang
dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi “Jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,
advokasi, keagamaan, dan khusus. Adanya pembagian pendidikan umum dan
keagamaan yang terdapat pada pasal tersebut memberikan gambaran
bahwasanya pendidikan kita memang dikotomi. Pendikotomian pendidikan
melalui kelembagaan dapat terlihat dari pendidikan agama terdapat pada
madrasah-madrasah, institut agama, dan pesantren. Dan lembaga-lembaga
tersebut dikelola oleh Departemen Agama. Sementara pendidikan umum
melalui Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, Kejuruan, serta Perguruan
Tinggi dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan
seperti ini tentu saja tidak akan melahirkan peserta didik ayang
memiliki kemamapuan menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan
sains dan teknologi sekaligus juga memiliki kepribadian berupa perilaku
yang mulia. Padahal tujuan pendidikan nasional sendiri adalah untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara. Saat ini mungkin tidak sedikit dari output peserta didik
kita yang berhasil menguasai sains dan teknologi melalui pendidikan
umum, namun tidak sedikit diantara mereka yang kurang memiliki
kepribadian yang mulia. saat ini ukuran kelulusan peserta didik hanya
dinilai dari Ujian Nasional (UN) saja, artinya para peserta didik hanya
ditujukan untuk menguasai materi saja tanpa nilai spiritualnya. Disisi
lain, mereka yang belajar di pendidikan agama memang menguasai ilmu
agama dan secara relatif memiliki kepribadian baik, tapi tidak sedikit
diantara mereka yang buta terhadap perkembangan sains dan teknologi.
Akhirnya, sektor-sektor modern seperti perdagangan, industri, jasa dan
lain-lain diisi oleh orang yang relatif awam terhadap agama.
Oleh
karenanya Penuntasan masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan
secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah ataupun tindakan
yang berfisat menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada
kenaikan anggaran saja akan tetapi kualitas Sumber Daya Manusia dan
mutu pendidikan di Indonesia harus terus ditingkatkan. Diantaranya
adalah Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan Tahun yang telah
lama dicanangkan oleh pemerintah di daerah-daerah pinggiran yang tidak
memiliki sarana dan prasarana pendidikan sering ditemui terbengkalainya
program wajib belajar Sembilan tahun tersebut mengakibatkan anak-anak
didik banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib
belajar Sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada
perubahan kebijakan yang sangat signifikan termasuk singkronisasi antara
pendidikan umum dan pendidikan agama maka akan sulit bagi bangsa
Indonesia menuju Cita-cita bangsa yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Idealnya dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap
anak bangsa bisa menikmati bangku sekolah minimal hingga tingkat SMA
tanpa memandang status sosial karena hal ini merupakan salah satu hak
mereka dalam bidang pendidikan yaitu belajar. Oleh karena itu,
setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam mengenyam
bangku pendidikan tanpa harus terjadi sebuah ketidakadilan sosial.
Namun, pada kenyataannya hal tersebut sulit untuk diterapkan. Bahkan
sebuah kalimat “Pendidikan yang Berkualitas itu Mahal” bisa
menjustifikasi masyarakat untuk lebih cenderung berfikir bahwa untuk
mengenyam dunia pendidikan yang benar-benar memiliki kualitas itu mahal.
Itulah sebab masyarakat lebih memilih untuk tidak bersekolah karena
harus mengeluarkan biaya yang begitu mahal.
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau bahkan lebih tepatnya lagi
tidak harus murah atau gratis. Tetapi prsoalannya siapa yang seharusnya
membayar semua ini? pasti kita akan menuding pemerintah-lah yang
memiliki kewajiban atas semua persoalan ini untuk menjamin bahwa setiap
warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk
mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah
justru ingin lari dari tanggung jawab.
Tak hanya itu, oleh dunia Internasional pun telah disepakati
dan dideklarasikannya Hari Aksara Internasional yang jatuh pada setiap
tanggal 8 September. Hal ini dimaksudkan untuk memberantas buta aksara
di seluruh dunia hingga ke pelosok sekalipun. Tetapi untuk Indonesia
sendiri apakah semua program pendidikan yang telah dicanangkan berjalan
dengan mulus? Bahkan hal ini diindikasi tak pernah dijalankan sama
sekali. Mulai dari program wajib belajar Sembilan tahun, program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), hingga perealisasian dana dari APBD untuk
pendidikan sesuai amanat Peraturan Pemerintah No 48 tahun 2008 dan
Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2007 serta UU Pendidikan yang mengatur
alokasi dana pendidikan minimal 20 persen.
Mulai dari tahun 1965 hingga tahun 2012 sekarang ini program
pemberantasan buta aksara di Indonesia masih saja tak bisa dituntaskan
padahal program ini sudah diadakan puluhan tahun lamanya. Pendidikan,
baik formal maupun non formal memegang peranan penting dalam upaya
pemberatasan buta aksara dengan memajukan taraf berpikir dan kebudayaan
rakyat, dan negara bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pendidikan
sebagai hak dasar bagi seluruh rakyatnya. Hal ini telah tertuang jelas
dan tegas dalam pasal 13 Konvenan Internasional tentang Hak Sosial,
Ekonomi, dan Budaya, demikian pula dalam pasal 31 Undang-Undang Dasar
1945 dan pasal 49 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Persoalan demikian siapa yang jelas bersalah dan dimana letak
semua persoalan ini lalu bagaimana jalan yang harus ditempuh untuk
mengurangi atau menuntaskan kemacetan dalam dunia pendidikan yang sudah
puluhan tahun terjadi ini?
Perkembangan
dunia di era globalisasi sekarang ini banyak menuntuk perubahan lebih
baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu
cara yang harus dilakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin
ketinggalan dengan Negara-negara lain adalah dengan meningkatkan
kualitas pendidikan terlebih dahulu terutama menjangkau dunia pendidikan
di tempat yang tidak terjangkau karena, dengan meningkatkan kualitas
pendidikan itu sama dengan sumber daya manusia yang terlahir nantinya
akan mampu membungkus mutu yang baik hingga mampu membawa bangsa
Indonesia bersaing dalam segala bidang di dunia Internasional.